When the missionaries came to Africa they had the Bible and we had the land. They said ‘Let us pray.’ We closed our eyes. When we opened them we had the Bible and they had the land.
Biografi
- Nama: Desmond Tutu
- Profesi: Aktivis, Guru, Pendeta
- Kebangsaan: Afrika Selatan
- Tahun: 1931 - sekarang
Desmond Mpilo Tutu atau yang lebih dikenal dengan nama Desmond Tutu, ia adalah seorang aktivis hak-hak sosial di Afrika Selatan. Ia juga pensiunan uskup Anglikan yang menjabat sebagai Uskup Agung berkulit hitam pertama di Cape Town. Selain itu, Desmond merupakan juru bicara Afrika Selatan terkemuka untuk hak-hak orang berkulit hitam, ia membantu menarik perhatian internasional pada keadaan apartheid yang menyedihkan di Afrika Selatan.
Terlahir dari keluarga miskin di Transvaal, Desmond Tutu tumbuh dewasa sambil menyaksikan orang-orang kulit berwarna didiskriminasi. Ia menuntut ilmu untuk menjadi seorang guru. Dia berusaha yang terbaik untuk menjadi yang terbaik. Di samping itu, Desmond juga belajar teologi dan ditahbiskan sebagai seorang pendeta.
Meskipun dia masih muda, tidak butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa sebuah kesalahan jika memperlakukan seseorang dengan tidak adil hanya dikarenakan warna kulit yang berbeda. Pada waktu itu Afrika Selatan terguncang oleh apartheid dan fenomena orang-orang Afrika Selatan berkulit hitam yang didiskriminasi secara kasar dalam semua aspek kehidupan.
Desmond menjadi aktif dalam gerakan anti-apartheid dan menjadi seseorang yang gencar menyuarakan hak-hak kulit hitam. Ia segera terkenal hingga internasional karena karya-karyanya dan menjadi seseorang yang sangat dihormati dengan memperoleh penghargaan Nobel 1984 dalam kategori Perdamaian.
Kehidupan Awal Desmond Tutu
Desmond lahir pada tanggal 7 Oktober 1931 di Transvaal, Afrika Selatan. Ia merupakan salah satu dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan bernama Zacheriah Zililo Tutu dan Aletta. Ayah Desmond, Zacheriah Zililo Tutu adalah seorang kepala sekolah dasar. Sedangkan ibunya menjadi tukang masak dan tukang bersih-bersih di sekolah untuk disabilitas netra. Meskipun keluarganya miskin, Desmond dan saudara-saudaranya bersyukur dan memanfaatkan apa yang tersedia. Mereka memiliki masa kecil yang cukup bahagia.
Desmond Tutu tumbuh menyaksikan bagaimana orang-orang kulit hitam didiskriminasi dan dirampas hak-hak dasarnya yang dinikmati oleh orang kulit putih. Ketika Desmond masih anak-anak, orang kulit hitam Afrika Selatan tidak diizinkan menggunakan hak memilih dan masyarakat berkulit hitam dipisahkan secara kaku. Dia pergi ke Johannesburg Bantu High School di mana dia menerima pendidikan yang baik dan lulus pada tahun 1950.
Impian masa remaja Desmond adalah menjadi seorang dokter dan berharap bisa diterima di sekolah kedokteran. Namun dia tidak bisa mengambil pendidikan kedokteran karena orang tuanya tidak mampu membayar biaya pendidikan medis yang mahal. Desmond kemudian menerima beasiswa untuk pendidikan guru di Pretoria Bantu Normal College. Ia memperoleh sertifikat gurunya pada tahun 1953. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Afrika Selatan dan lulus pada tahun 1954.
Karir Awal Desmond Tutu
Di awal karirnya, ia menjadi guru di SMA Johannesburg Bantu. Desmond juga mengajar di SMA Munsienville di Mogale City. Pemerintah meloloskan Undang-Undang Pendidikan tentang warga kulit hitan pada tahun 1953. Undang-undang tersebut justru menurunkan standar pendidikan bagi warga kulit hitam Afrika Selatan. Undang-undang itu sangat membatasi peluang mereka untuk menerima pendidikan yang lebih tinggi dan berkualitas baik.
Selama beberapa tahun ia berusaha yang terbaik untuk memberikan pendidikan yang baik bagi seluruh murid-muridnya, terlepas dari keterbatasan hukum dan Undang-Undang yang secara eksplisit mempromosikan ketidaksetaraan. Tidak mau menjadi bagian dari sistem pendidikan yang korup lagi, Desmond Tutu akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai guru pada tahun 1957.
Desmond melanjutkan pendidikannya dengan jurusan yang berbeda, ia justru menuntut ilmu teologi di St Peter’s Theological College, Rosettenville, Johannesburg. Dia ditahbiskan sebagai diakon Anglikan pada tahun 1960 dan sebagai pendeta di tahun 1961. Lalu ia pergi ke Inggris pada tahun 1962 untuk melanjutkan studi teologis lebih lanjut di King’s College London dan menerima gelar master dalam bidang teologi pada tahun 1966.
Selanjutnya ia kembali ke Afrika Selatan pada tahun 1967. Desmond Tutu mulai mengajar di Seminari Teologi Federal di Alice di Eastern Cape, sekaligus menjadi pendeta di Universitas Fort Hare pada tahun 1967. Kemudian ia mengajar di Universitas Nasional Lesotho dari tahun 1970 hingga 1972.
Kemudian Desmond kembali ke Inggris di tahun 1972 karena ia ditunjuk sebagai wakil direktur Dana Pendidikan Teologis dari Dewan Gereja-Gereja Sedunia, di Bromley di Kent. Setelah menjalankan tugas di sana selama 3 tahun, ia kembali lagi ke Afrika Selatan. Pada tahun 1975, Desmond diangkat menjadi Dekan Katedral St. Mary di Johannesburg dan dia menjadi tokoh kulit hitam pertama yang memegang posisi tersebut.
Perjuangan Desmond Tutu Melawan Apartheid
Sebagai Dekan Katedral St. Mary, Desmond menjadi juru bicara terkemuka untuk hak-hak orang kulit hitam. Desmond menyadari bahwa dia telah diberi platform yang sebelumnya tidak pernah ditawarkan kepada orang kulit hitam, dan ia memutuskan untuk menggunakan posisinya untuk melawan ketidakadilan yang dialami oleh orang kulit hitam di negaranya.
Desmond Tutu diangkat menjadi Uskup Lesotho pada tahun 1976. Dua tahun kemudian, dia terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Gereja-Gereja Afrika Selatan. Ketika dia bangkit melalui hierarki agama Afrika Selatan, Desmond meningkatkan keterlibatannya dalam gerakan anti-apartheid. Dia adalah seorang aktivis yang blak-blakan dan banyak menciptakan tulisan yang isinya menentang apartheid.
Dalam karya tulis Desmond, ia sering kali membandingkan apartheid dengan Nazisme. Desmond juga sangat aktif dalam pawai protes yang mengarah pada penangkapan dan pemenjaraannya pada tahun 1980. Semua penentangan yang dilakukannya menimbulkan kemarahan para petinggi pemerintahan, hingga pihak pemerintah mencabut paspor miliknya hingga dua kali. Meskipun dia sangat tidak setuju dengan apartheid, tetap dia menganjurkan cara protes tanpa kekerasan.
Pada tahun 1983, sebuah konstitusi baru diusulkan di Afrika Selatan untuk mempertahankan diri dari gerakan anti-apartheid yang sedang tumbuh. Desmond Tutu memainkan peran penting dalam pembentukan Komite Forum Nasional untuk melawan perubahan konstitusi tersebut. Kemunculannya sebagai pemimpin yang blak-blakan dalam gerakan anti-apartheid, dan status internasionalnya yang semakin berkembang, berhasil mencapai puncak anugerah Hadiah Nobel Perdamaian di tahun 1984.
Setelah itu, gerakan anti-apartheid Afrika Selatan memperoleh dukungan dari dunia internasional dan Desmond diangkat ke status seorang pemimpin dunia yang sangat dihormati. Pada tahun 1985, Desmond diangkat menjadi Uskup Johannesburg dan terpilih menjadi Uskup Agung Cape Town pada tahun berikutnya. Desmond menjadi orang berkulit hitam pertama yang memegang posisi tertinggi di Gereja Anglikan Afrika Selatan.
Ia juga diangkat sebagai presiden Konferensi Gereja-Gereja di Afrika pada tahun 1987 hingga akhir masa jabatannya di tahun1997. Pada tahun 1993, apartheid Afrika Selatan berhasil diakhiri sebagai hasil dari kampanye Desmond yang tanpa henti dan kepemimpinannya yang cakap. Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan yakni Nelson Mandela terpilih pada tahun 1994, dan Desmond Tutu diberi kehormatan untuk memperkenalkan presiden baru tersebut kepada masyarakat Afrika Selatan.