Kiss me and you will see how important I am.
Biografi
- Nama: Sylvia Plath
- Profesi: Penyair, Novelis, Cerpenis, dan Eseis
- Kebangsaan: Amerika
- Tahun: 1932- 1963
Sylvia Plath terkenal dengan karyanya, Bell Jar, penyair dan novelis ini mengeksplorasi tema kematian, diri dan watak manusia dalam karya yang mengungkapkan sikap tidak pastinya terhadap alam semesta.
Kehidupan & Karier
Sylvia Plath lahir di Boston, Massachusetts, pada tanggal 27 Oktober 1932, dari keluarga Otto dan Aurelia Plath. Ayahnya, seorang profesor biologi (studi tentang kehidupan tanaman dan hewan) di Universitas Boston dan punya wewenang penelitian akan lebah, dan orang yang dihormati, beliau meninggal saat Sylvia Plath berusia delapan tahun.
Dia ditinggalkan dengan perasaan sedih, bersalah dan marah yang menghantuinya seumur hidup dan membawanya untuk menciptakan sebagian besar puisinya. Plath menjadi figur anak yang sesuai secara sosial. Dia juga seorang siswa yang sangat baik yang mempesona guru-gurunya di sekolah negeri Winthrop, Massachusetts, dan mendapatkan penghargaan dan pujian untuk kemampuan menulisnya. Dia baru berumur delapan setengah tahun saat puisi pertamanya diterbitkan di Boston Herald.
Plath tinggal di Winthrop bersama ibu dan adiknya, Warren, sampai tahun 1942. Tahun-tahun awal ini memberinya kesadaran yang kuat akan keindahan dan teror alam dan cinta dan ketakutan yang kuat terhadap lautan. Pada tahun 1942 ibunya mendapat pekerjaan sebagai seorang guru, lalu membeli sebuah rumah di Wellesley, Massachusetts, sebuah daerah tempat orang-orang kelas menengah yang berpendidikan dan terhormat, yang juga mempengaruhi kehidupan dan nilai-nilai dalam diri Plath.
Kisah pertamanya, “And Summer Will Not Come Again”, diterbitkan di majalah Seventeen pada bulan Agustus 1950. Pada bulan September 1950, Plath memasuki Smith College di Northhampton, Massachusetts, dengan beasiswa. Di sana dia sekali lagi unggul dalam studinya secara akademis dan sosial. Disebut sebagai “gadis emas” oleh guru dan teman sebaya, dia merencanakan karir menulisnya secara rinci. Dia mengisi buku catatan dengan cerita dan puisi, membentuk kata-katanya dengan hati-hati dan memenangkan banyak penghargaan.
Pada bulan Agustus 1952, Plath memenangkan sebuah kontes fiksi yang diadakan oleh Mademoiselle, dia mendapatkan posisi sebagai editor tamu di majalah tersebut pada bulan Juni 1953. Pengalamannya di New York, semakin menyedihkan dan kemudian menjadi dasar novelnya, The Bell Jar (1963).
Sekembalinya ke rumah, Plath yang bosan dengan citranya sebagai gadis atau wanita All-American, mengalami gangguan mental yang serius, mencoba bunuh diri dan mendapat perawatan untuk traumanya. Pada bulan Februari 1953 dia sudah cukup pulih untuk kembali ke Smith College. Dia lulus dan memenangkan beasiswa Fulbright ke Cambridge University di Inggris, di mana dia bertemu dengan calon suaminya, seorang penyair, Ted Hughes (1930-1998). Mereka menikah pada bulan Juni 1956 di London, Inggris.
Setelah Plath mendapat gelar sarjananya, dia kembali ke Amerika untuk menerima posisi pengajar di Smith pada tahun ajaran 1957-1958. Dia berhenti setahun setelah mencurahkan seluruh waktunya untuk menulis. Dalam kurun waktu singkat dia juga mengikuti kursus puisi yang diberikan oleh penyair Amerika, Robert Lowell (1917-1977), di mana dia bertemu dengan seorang penyair Amerika, Anne Sexton (1928-1974).
Pengaruh Sexton dan Lowell penting bagi perkembangannya sebagai seorang penyair. Keduanya mendesaknya untuk menulis tentang subjek yang sangat pribadi. Plath dan suaminya diundang sebagai penulis tetap di Yaddo, di Saratoga Springs, New York, tempat mereka tinggal dan bekerja selama dua bulan. Di sinilah Plath menyelesaikan banyak puisi yang dikumpulkannya dalam The Colossus (1960), jilid pertama kumpulan puisinya. Anak pertamanya, Frieda, lahir pada tahun 1960. Lalu anak keduanya, Nicholas, lahir dua tahun kemudian.
Colossus dipuji karena “dirajut dengan bagus” dan “merenung [cemas]” tentang bahaya dan horor yang mengintai di tempat manusia di dalam alam semesta. Tapi itu dikritik karena tidak adanya ‘suara personal’. Tidak sampai “Three Women: A Monologue for Three Voices” (1962) – sebuah drama radio yang dianggap sebagai karya penting oleh beberapa kritikus – apakah Plath mulai membebaskan gayanya dan menulis lebih banyak puisi alami dan kurang naratif (bercerita). “Three Women” seperti kebanyakan puisi Plath, strukturnya dramatis dan mengungkapkan tema yang sangat pribadi yang menandai karyanya.
Mengekspresikan Sisi Kelam dalam Kehidupannya
Sebagai penulis puisi yang sedang ‘bertumbuh’, Plath mengarah ke tulisan yang lebih autobiografi (tentang kehidupannya sendiri) dan pribadi. Hampir semua puisi di Ariel (1965), diaganggap sebagai karya terbaiknya yang ditulis selama beberapa bulan terakhir hidupnya, ini adalah catatan pribadi tentang kemarahan, ketidakamanan, ketakutan, rasa kesepian yang luar biasa dan kematian.
Dia telah menemukan ‘suara’ yang telah dia coba ekspresikan begitu lama. Kekerasan dan kejam dalam deskripsi tentang bunuh diri, kematian dan kebrutalannya, Ariel mengejutkan para kritikus, terutama beberapa penyair yang membandingkan ayahnya dengan anggota Nazi (anggota partai yang berkuasa di Jerman, 1933-45, yang membunuh enam juta orang Yahudi selama Perang Dunia II [1939-45], yang merupakan perang yang terjadi antara Inggris Raya, Prancis, Uni Soviet dan Amerika Serikat melawan Jerman, Italia, dan Jepang).
Plath tidak bisa lepas dari tragedi yang menyerang dan mengambil alih kehidupan pribadinya. Pada bulan Februari 1963 pernikahannya telah berakhir. Dia sakit dan hidup di ambang ‘kerusakan’ lain sambil merawat dua anak kecil di sebuah apartemen kecil di London, Inggris, selama musim dingin yang paling dingin selama bertahun-tahun. Pada tanggal 11 Februari dia bunuh diri. Hal terakhir yang dia lakukan adalah meninggalkan anak-anaknya dengan menyiapkan mereka dua cangkir susu dan sepiring roti mentega.
Dalam puisi yang diterbitkan setelah kematian Plath dalam Crossing The Water (1971) dan Winter Trees (1971), Plath menyuarakan kemarahannya yang telah lama tersembunyi mengenai “tahun-tahun berpisah, senyuman dan kompromi.” Pandangan yang lebih lengkap terhadap pikiran Plath yang tersiksa adalah The Unabridged Journal of Sylvia Plath, 1950-1962 yang dipublikasi 2002.
Meskipun Sylvia Plath sering dianggap oleh kritikus sebagai penyair tentang kematian, puisi terakhirnya, yang berhubunganan dengan dirinya sendiri dan bagaimana kelanjutannya hidup di dunia yang telah rusak, materialistis (terfokus pada perolehan kekayaan material), dengan jelas mengungkapkan kebutuhannya akan iman dalam penyembuhan kekuatan seni.